Thursday, March 3, 2016

Masa Pemerintahan/Penjajahan Hindia Belanda di Indonesia

Hindia Belanda adalah sebutan bagi wilayah Indonesi pada masa lalu dijajah oleh Belanda yang mendapat pengakuan secra de jure dan de facto. Kepala negara Hindia Belanda adalah Ratu atau Raja Belanda dengan seorang Gubernur Jendral sebagai perwakilannya yang memiliki kekuasaan penuh untuk menjalankan pemerintahan di tanah jajahanya. Hindia Belanda secara de jure  dianggap merupakan wilayah Belanda sesuai dalam Undang-undang Kerajaan Belanda tahun 1814 sebagai wilayah berdaulat Kerajaan Belanda, yang kemudian diamandemen tahun 1848, 1872, dan 1922 menurut perkembangan wilayah Hindia Belanda.

Wilayah Hindia Belanda dahulu merupakan jajahan dari Vereenigde Oostindische Compagnie (atau VOC) yang antara lain memiliki Jawa dan Maluku serta beberapa daerah lain semenjak abad ke-17. Setelah VOC dibubarkan pada tahun 1799, semua properti VOC menjadi milik pemerintah Belanda.

Pada abad ke-19 hanya pulau Jawa yang secara keseluruhan milik Belanda. Lalu pada tahun-tahun selanjutnya semua daerah lain di Nusantara ditaklukkan oleh Belanda. Hindia Belanda merupakan salah satu koloni Eropa yang paling berharga karena turut menyumbang kepada semakin kuatnya pengaruh ekonomi global Belanda, terutama dalam perdagangan rempah dan komoditas perkebunan lainnya, dalam abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Pada puncaknya pada tahun 1942, Hindia Belanda meliputi semua daerah Indonesia saat ini. Selain itu, kota Melaka, Taiwan, Sri Lanka pernah dimiliki VOC dan pemerintah Belanda.

Perbatasan Hindia Belanda dengan negara tetangganya ditentukan dengan perjanjian-perjanjian legal antara Kerajaan Belanda dengan Kerajaan Sarawak (protektorat Inggris di bawah dinasti Brooke "the White Rajah"), Borneo Utara Britania (Sabah), Kerajaan Portugis (Timor Portugis), Kekaisaran Jerman (Papua Nugini Utara), Kerajaan Inggris (Papua Nugini Selatan).

Setelah berakhirnya kekuasaan Inggris di Indonesia pada tahun 1816 Pemerintahan kolonial Belanda di Indinesia dijalankan oleh pemerintahan yang disebut Pemerintahan Hindia Belanda yang masa pemerintahanya nantinya berlangsung hingga tahun 1942 setelah kedatangan kolonial Jepang yang menguasai Hindia Belanda kemudian



Pemerintahan Komisaris Jendral
Pada awalnya, pemerintahan ini dijalankan secar kolektif yang terdiri atas tiga orang, yaitu Flout, Buyskess, dan van der Capellen. Mereka berpangkat komisaris jenderal. Pemerintahan kolektif itu bertugas melakukan normalisasi keadaan d Indonesia untuk menjaga peralihan kekuasan lama dari Inggris pada Belanda berjalan lancar. Setelah masa peralihan selam tiga tahun (1816-1819) itu berakhir. Kepala pemerintahan Hindia Belanda setelah itu mulai dipegang oleh seorang Gubernur Jendral. Gubernur Jenderal pertama yang memerintah Hindia Belanda antara tahun 1816-1814 adalah Van der Capellen.
Dalam menjalankan pemerintahannya, komisaris jenderal melakukan langkah-langkah sebagai berikut.
  • Sistem residen tetap dipertahankan,
  • Dalam bidang hukum, sistem juri dihapuskan,
  • Kedudukan para bupati sebagai penguasa feudal/feodal tetap dipertahankan,
  • Desa sebagai satu kesatuan unit tetap dipertahankan dan para penguasanya dimanfaatkan untuk pelaksanaan pemungutan pajak dan hasil bumi,
  • Dalam bidang ekonomi memberikan kesempatan kepada pengusaha-pengusaha asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Pada kurun waktu 1816-1830, pertentangan antara kaum liberal dan kaum konservatif terus berlangsung. Persoalan pokoknya tentang sistem yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negeri induk. Kaum liberal berkeyakinan bahwa tanah jajahan akan memberi keuntungan besar bagi negeri induk apabila urusan eksploitasi ekonomi diserahkan kepada orang-orang swasta Barat. Pemerintah hanya mengawasi jalannya pemerintahan dan memungut pajak. Kaum konservatif berpendapat sebaliknya, bahwa sistem pemungutan hasil bumi oleh pemerintah secara langsung akan menguntungkan negeri induknya. Kaum konservatif meragukan sistem liberal karena keadaan tanah jajahan belum memenuhi syarat.

Para komisaris jenderal kemudian mengambil jalan tengah. Di satu pihak, pemerintah tetap berusaha menangani penggalian kekayaan tanah jajahan bagi keuntungan negeri induknya. Di lain pihak, mencari jalan melaksanakan dasar-dasar kebebasan. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van der Capellen juga dilaksanakan sistem politik yang dualistis. Pada satu pihak melindungi hak-hak kaum pribumi, di lain pihak memberi kebebasan kepada pengusaha-pengusaha swasta Barat untuk membuka usahanya di Indonesia selama tidak mengancam kehidupan penduduk.
Berbagai jalan tengah telah diupayakan, tetapi ternyata kurang memberikan keuntungan bagi negeri induk. Sementara itu, kondisi di negeri Belanda dan di Indonesia semakin memburuk. Oleh karena itu, usulan Van den Bosch untuk melaksanakan cultuur stelsel (tanam paksa) diterima dengan baik karena dianggap dapat memberikan keuntungan yang besar bagi negeri induk.

Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) 1830-1870
Istilah cultuur stelsel sebenarnya berarti sistem tanaman. Terjemahannya dalam bahasa inggris adalah culture system atau cultivation system. Pengertian dari cultuur stelsel sebenarnya adalah kewajiban rakyat (Jawa) untuk menanam tanaman ekspor yang laku dijual di Eropa. Rakyat pribumi menerjemahkancultuur stelsel dengan sebutan tanam paksa. Hal itu disebabkan pelaksanaan proyek penanaman dilakukan dengan cara-cara paksa. Pelanggarnya dapat dikenakan hukuman fisik yang amat berat. Jenis-jenis tanaman yang wajib ditanam, yaitu tebu, nila, teh, tembakau, kayu manis, kapas, merica (lada), dan kopi.
Menurut van den Bosch, cultuur stelsel didasarkan atas hokum adat yang menyatakan bahwa barang siapa berkuasa di suatu daerah, ia memiliki tanah dan penduduknya. Karena raja-raja di Indonesia sudah takluk kepada Belanda, pemerintah Belanda menganggap dirinya sebagai pengganti raja-raja tersebut. Oleh karena itu, penduduk harus menyerahkan sebagian hasil tanahnya kepada pemerintah Belanda.

Latar Belakang Sistem Tanam Paksa
  • Belanda menanggung beban keuangan besar karena menghadapi Peang koalisi Eropa melawan Napoleon Bonaparte, selain itu adanya sparatisme dari Belgia, serta terjadinya perlawan besar di Pulau Jawa menghadapi Perang Diponegoro (1825-1830)
  • Kas Negara Belanda kosong dan hutang yang ditanggung Belanda cukup berat.
  • Pemasukkan uang dari penanaman kopi tidak banyak.
  • Gagal mempraktikkan gagasan liberal (1816-1830) berarti gagal juga mengeksploitasi tanah jajahan untuk memberikan keuntungan yang besar pada Belanda.
Aturan-Aturan Tanam Paksa
Ketentuan-ketentuan pokok sistem tanam paksa terdapat dalam Staatsblad (lembaran Negara) tahun 1834 No.22, beberapa tahun setelah tanam paksa dijalankan di Pulau Jawa. Bunyi dari ketentuan tersebut adalah sebagai berikut
  • Persetujuan-persetujuan agar penduduk menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor yang dapat dijual di Eropa
  • Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan tersebut tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki
  • Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman tidak boleh melebihi pekerjaan untuk menanam padi
  • Tanah yang disediakan penduduk tersebut bebas dari pajak tanah.
  • Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Jika harganya ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, kelebihan itu diberikan kepada penduduk.
  • Kegagalan panen yang bukan karena kesalahan petani akan menjadi tanggungan pemerintah.
  • Bagi yang tidak memiliki tanhan akan dipekerjakan pada perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari setiap tahun.
  • Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pemimpin-pemimpin pribumi. Pegawai-pegawai Eropaa bertindak sebagai pengawas secara umum.
Ketentuan-ketentuan tersebut dalam praktiknya banyak menyimpang sehingga rakyat banyak dirugikan. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, antara lain berikut ini.

  • Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara-cara yang sangat memaksa.
  • Luas tanah yang disediakan penduduk lebih dari seperlima tanah mereka. Sering kali juga semua tanah rakyat digunakan untuk tanam paksa.
  • Pengerjaan tanaman-tanaman ekspor sering kali jauh melebihi pengerjaan padi.
  • Kelebihan hasil panen sering kali tidak dikembalikan kepada petani.
  • Pajak tanah masih dikenakan pada tanah yang digunakan untuk proyek tanam paksa.
  • Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.
  • Buruh yang seharusnya dibayar oleh pemerintah malah dijadikan tenaga paksaan.
Dampak Tanam Paksa bagi Rakyat Indonesia
Pelaksanaan system tanam paksa memberikan dampak bagi rakyat Indonesia, baik positif maupun negatif.

I) Dampak Positif
  • Rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru.
  • Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang berorientasi impor.
II) Dampak Negatif
  • Kemiskinan serta penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan.
  • Beban pajak yang berat.
  • Pertanian, khususnya padi, banyak mengalami kegagalan panen.
  • Kelaparan dan kematian terjadi di banyak tempat, seperti di Cirebon (1843) sebagai akibat dari pemungutan pajak tambahan dalam bentuk beras, serta di Demak (1848) dan di Grobogan (1849-1850) sebagai akibat kegagalan panen.
  • Jumlah penduduk Indonesia menurun dengan sangat drastis.

Sistem Politik Ekonomi Liberal (1870)
Sebelum tahun 1870, Indonesia dijajah dengan model imperialism kuno (ancient imperialism), yaitu dengan cara mengeruk kekayaan alamnya saja namun setelah tahun 1870, Pemeintah Belnada mulain menerapkan sistem imperialism modern (modern imperialism) dengan kebijkan Politik Ekonomi Liberal atau Pintu Terbuka (opendeur politiek),  dengan memberikan kesempatan pada para pemilik modal swasta asing untuk membuka usaha di Indonesia

Latar Belakang Sistem Politik Ekonomi Liberal
  • Pelaksanaan system tanam paksa telah menimbulkan penderitaan rakyat pribumi, tetapi hanya memberikan keuntungan kepada pihak Belanda secara besar-besaran.
  • Berkembangnya paham liberalism sehingga system tanam paksa dianggap tidak sesuai lagi untuk diteruskan.
  • Kemenangan Partai Liberal dalam Parlemen Belanda mendesak pemerintah Belanda menerapkan system ekonomi liberal di Indonesia. Tujuannya agar para pengusaha Belanda sebagai pendukung Partai Liberal dapat menanamkan modalnya di Indonesia.
  • Adanya traktar Sumatera (1871) yang memberikan kebebasan bagi Belanda untuk meluaskan wilayahnya ke Aceh. Sebagai imbalannya, Inggris meminta Belanda menerapkan system ekonomi liberal di Indonesia agar pengusaha Inggris dapat menanamkan modalnya di Indonesia.
Pelaksanaan Peraturan Sistem Politik Ekonomi Liberal
  • Indische Comptabiliteit Wet (1867), berisi tentang perbendaharaan negara Hindia Belanda yang menyebutkan bahwa dalam menentukan anggaran belanja Hindia Belanda harus diterapkan dengan undang-undang yang disetujui oleh Parlemen Belanda.
  • Suiker Wet (Undang-Undang Gula), yang menetapkan bahwa tanaman tebu adalah monopoli pemerintah yang secara berangsur-angsur akan dialihkan kepada pihak swasta.
  • Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) 1870.
  • Agrarische Besluit (1870). Jika Agrarische Wet diterapkan dengan persetujuan parlemen. Maka Agrarische Besluit diterapkan oleh persetujuan Raja Belanda. Agrarische Wet hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum tentang agrarian, sedangkan Agraria Besluit mengatur hal-hal yang lebih rinci, khususnya tentang hak kepemilikan tanah dan jenis-jenis hak penyewaan tanah oleh pihak swasta.
Adapun isi dari Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) 1870 adalah:
  • Tanah di Indonesia dibedakan atas tanah rakyat dan tanah pemerintah.
  • Tanah rakyat dibedakan atas tanah milik yang bersifat bebas dan tanah desa tidak bebas.
  • Tanah tidak bebas adalah tanah yang dapat disewakan kepada pengusaha swasta.
  • Tanah rakyat tidak boleh dijual kepada orang lain.
  • Tanah pemerintah dapat disewakan kepada pengusaha swasta hingga 75 tahun.
Pelaksanaan Sistem Ekonomi Liberal
Pelaksanaan system politik ekonomi liberal di Indonesia merupakan jalan bagi pemerintah colonial Belanda menerapkan imperialism modernnya. Hal itu berarti Indonesia dijadikan tempat untuk berbagai kepentingan, antara lain sebagai berikut.
  • Mendapatkan bahan mentah atau bahan baku industry di Eropa.
  • Mendapatkan tenaga kerja yang murah.
  • Menjadi tempat pemasaran barang-barang produksi Eropa.
  • Menjadi tempat penanaman modal asing. 

Seiring dengan pelaksanaan sistem politik ekonomi liberal, Belanda mencoba melaksanakan kebijakan Pax Netherlandica, sebagai upaya penyatuan eluruh negara jajahan dengan pemerintah Belanda. Hal ini bertujuan agar wilayah Indonesia tidak diduduki oleh bangsa Barat lainnya. Lebih-lebih setelah dibukanya Terusan Suez (1868) yang mempersingkat jalur pelayaran antara Eropa dan Asia

Akibat Pelaksanaan Sistem Politik Ekonomi Liberal
a.) Bagi Belanda
  • Memberikan keuntungan yang sangat besar kepada kaum swasta Belanda dan pemerintah colonial Belanda.
  • Hasil-hasil produksi perkebunan dan pertambangan mengalir ke negeri Belanda.
  • Negeri Belanda menjadi pusat perdagangan hasil dari tanah jajajahan.
b.) Bagi Indonesia
  • Kemerosotan tingkat kesejahteraan penduduk.
  • Adanya krisis perkebunan pada tahun 1885 karena jatuhnya harga kopi dan gula berakibat sangat buruk bagi penduduk.
  • Menurunnya konsumsi bahan makanan, terutama beras, sementara pertumbuhan penduduk Jawa meningkat sangat pesat.
  • Menurunnya usaha kerajinan rakyat karena kalah bersaing dengan barang-barang impor dari Eropa.
  • Pengangkutan dengan gerobak menjadi merosot penghasilannya setelah adanya angkutan dengan kereta api.
  • Rakyat menderita karena masih diterapkannya kerja rodi dan adanya hukuman berat bagi yang melanggar peraturan Poenale Sanctie.
Kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia ini berlangsung sejak tahun 1816 hingga tahun 1942 setelah Jepang yang mengobarkan Perang Asia Pasifik memaksa Gubernur Jendral Belanda  Van Starkenborgh Stachouw menandatangani Perjanjian Kalijati pada 8 Maret 1942 yang berisi penyerahan tanpa syarat pihak Hindia Belannda kepada Jepang.


Tuesday, March 1, 2016

Masa Penjajahan Jepang (1942 -1945)


Interaksi Bangsa Indonesia Dengan Jepang Pada Masa Kolonial Belanda
Sebelum meletusnya Perang Asia Pasifik Timu Raya pada Desember 1941 Kelompok Nasionalis seperti Gatot Mangkupraja dan Moh. Hatta telah menjalin hubungan dengan Jepang pada akhir tahun 1933. Mereka berkeyakinan bahwa Jepang dengan gerakan Pan-Asia mendukung pergerakkan nasional Indonesia.
Moh. Hatta adalah tokoh yang memegang teguh paham nasionalisme. Meskipun beliau secara tegas menolak imperialism Jepang, tetapi beliau tidak mengecam perjuangan Jepang dalam melawan ekspansi Negara-negara Barat. Moh. Hatta bersedia bekerja sama dengan Jepang karena beliau berkeyakinan pada ketulusan Jepang dalam mendukung kemerdekaan Indonesia.
Faktor lain yang menyebabkan timbulnya simpati rakyat Indonesia kepada Jepang adalah sikap keras pemerintah Hindia Belanda menjelang akhir kekuasaannya. Pada tahun 1938, pemerintah colonial menolak Petisi Sutardjo yang meminta pemerintahan sendiri bagi bangsa Indonesia dalam lingkungkan kekuasaan Belanda sesudah 10 tahun. Setahun kemudian, Belanda pun menolak usulan dari Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang dirumuskan dalam slogan Indonesia Berparlemen. Penolakan-penolakan tersebut menimbulkan keyakinan kaum pergerakan nasional Indonesia bahwa pihak Belanda tidak akan memberikan kemerdekaan. Di lain pihak, Jepang sejak awal sudah mengumandangkan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia, termasuk Indonesia

Jatuhnya Indonesia ke tangan Jepang
Masa pendudukan Jepang merupakan periode yang penting dalam perjalan  sejarah bangsa Indonesia. Pendudukan Jepang di Indonesia pada awlanya bertujuan untuk mewujudkan Persemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Untuk mewujudkan cita-cita itu, Jepang menyerbu pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawai, Penyerangan ini dilatar belakangi karena merupakan Armada militer terkuat di Kawasan Asia Pasifik serta ketidak sukaan Jepang akan sikap Amerika Serikat yang menyatakan netral dalam Perang Dunia II tapi nyatanya selalu membantu militer sekutu di Eropa melawan Jerma. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 7 Desember 1941. Gerakan invasi militer Jepang cepat merambah ke kawasan Asia Tenggara. Pada bulan Januari-Februari 1942, Jepang menduduki Filipina, Tarakan (Kalimantan Timur), Balikpapan, Pontianak, dan Samarinda. Pada bulan Februari 1942 Jepang berhasil menguasai Palembang. Untuk menghadapi Jepang, Sekutu membentuk Komando gabungan. Komando itu bernama ABDACOM (American British Dutch Australian Command). ABDACOM dipimpin oleh Jenderal Sir Archibald Wavell dan berpusat di Bandung. Pada tanggal 1 Maret 1942 Jepang berhasil mendarat di Jawa yaitu Teluk Banten, di Eretan (Jawa Barat), dan di Kragan (Jawa Timur). Pada tanggal 5 Maret 1942 kota Batavia jatuh ke tangan Jepang. Akhirnya pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda secara resmi menyerah tanpa syarat kepada Jepang melaui Perjanjian Kalijati.
Upacara penyerahan kekuasaan sendiri dilakukan pada tanggal 8 Maret 1942 di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Dalam upacara tersebut Sekutu diwakili oleh Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh dan Jenderal Ter Poorten, sedang Jepang diwakili oleh Jenderal Hitoshi Imamura. Dengan penyerahan itu secara otomatis Indonesia mulai dijajah oleh Jepang.Kebijakan Jepang terhadap rakyat Indonesia pada prinsipnya diprioritaskan pada dua hal, yaitu:
1.    Menghapus pengaruh-pengaruh Barat di kalangan rakyat Indonesia, dan
2.    Memobilisasi rakyat Indonesia demi kemenangan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.

Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Jepang di Indonesia
Sistem Pemerintahan Militer
Pada saat Jepang menduduki Indonesia Jepang sedang terlibat dalam Perang Dunia II namun Jepang lebih suka menyebutnya Perang Asia Timur Raya menghadapi tentara sekuru (Amerika Serikat, Inggris, China, Belanda, dan Australia) karena masih dalam situasi Perang maka Jepang memberlakukan sistem pemerintahan militer pada daerah-daerah jajahan yang dikuasainya termasuk Indonesia
Ketika Belanda berkuasa di Indonesia, hanya ada satu pemerintahan sipil yang berkuasa yang bermarkas di Batavia. Sementara ketika Jepang berkuasa mereka membentuk tiga pemerintahan militer penduudukan sebagai berikut.
  1. Pemerintahan Militer Angkatan Darat (Tentara Ke-25) untuk Sumatera, dengan pusatnya di Bukittinggi.
  2. Pemerintahan Militer Angkatan Darat (Tentara Ke-16) untuk Jawa dan Madura, dengan pusatnya di Jakarta.
  3. Pemerintahan Militer Angkatan Laut (Armada Selatan Ke-2) untuk Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku, dengan pusatnya di Makassar.

Panglima Tentara Ke-16 di Pulau Jawa ialah Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. Kepala Stafnya ialah Mayor Jenderal Seizaburo Okasaki. Mereka mendapat tugas membentuk suatu pemerintahan militer di Jawa dan kemudian diangkat sebagai Gunseikan (kepala pemerintahan militer). Staf pemerintahan militer pusat disebut Gunseikanbu, yang terdiri dari atas 5 macam departemen (bu), yaitu sebagai berikut.
  •  Departemen Urusan Umum (Sumobu),
  • Departemen Keuangan (Zaimubu),
  • Departemen Perusahaan, Industri, dan Kerajinan Tangan (Sangyobu),
  • Departemen Lalu Lintas (Kotsubu),
  • Departemen Kehakiman (Shihobu).

Pada bulan Agustus 1942, pemerintahan militer Jepang meningkatkan penataan pemerintahan. Hal ini tampak dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 27 tentang aturan pemerintahan daerah dan Undang-Undang No. 28 tentang aturan pemerintahan syú dan tókubetsu syi. Kedua undang-undang tersebut menunjukkan dimulainya pemerintahan sipil Jepang di Pulau Jawa.
Menurut Undang-Undang No. 27, seluruh Pulau Jawa dan Madura, kecuali kõci (daerah istimewa) Surakarta dan Yogyakarta, dibagi atas tingkatan berikut.
  • Karesidenan (syú) dipimpin oleh seorang syucõ.
  • Kotapraja (syi) dipimpin oleh seorang syicõ.
  • Kabupaten (ken) dipimpin oleh seorang kencõ.
  • Kawedanan atau Distrik (gun) dipimpin oleh seorang guncõ.
  • Kecamatan (son) dipimpin oleh seorang soncõ.
  • Kelurahan atau Desa (ku) dipimpin oleh seorang kucõ.
Meningkatnya Perang Pasifik semakin melemahkan Angkatan Perang Jepang. Untuk menahan serangan Sekutu yang semakin hebat, Jepang mengubah sikapnya terhadap negeri-negeri jajahannya. Di depan Sidang Istimewa parlemen ke-82 di Tokyo pada tanggal 16 Juni 1943, Perdana Menteri Hideki Tojo mengeluarkan kebijakan memberikan kesempatan kepada orang Indonesia untuk turut mengambil bagian dalam pemerintahan negara untuk mengambil simpati rakyat tanah jajahan dalam membantu Jepang memenangkan perang. Selanjutnya pada tanggal 1 Agustus 1943 dikeluarkan pengumuman Saikō Shikikan (Panglima Tertinggi) tentang garis-garis besar rencana mengikutsertakan orang-orang Indonesia dalam pemerintahan.
Pengikutsertaan bangsa Indonesia dimulai dengan pengangkatan Prof. Dr. Husein Djajadiningrat sebagai Kepala Departemen Urusan Agama pada tanggal 1 Oktober 1943. Kemudian pada tanggal 10 November 1943, Mas Sutardjo Kartohadikusumo dan R.M.T.A Suryo masing-masing diangkat menjadi syúcokan di Jakarta dan Bojonegoro. Pengangkatan tujuh penasihat (sanyō) bangsa Indonesia dilakukan pada pertengahan bulan September 1943, yaitu sebagai berikut
  1.   Ir. Soekarno untuk Departemen Urusan Umum (Somubu).
  2. Mr. Suwandi dan dr. Abdul Rasyid untuk Biro Pendidikan dan Kebudayaan danDepartemen Dalam Negeri (Naimubu-bunkyōku).
  3.   Prof. Dr. Mr. Supomo untuk Departemen Kehakiman (Shihōbu).
  4.  Mochtar bin Prabu Mangkunegoro untuk Departemen Lalu Lintas (Kotsubu).
  5.  Mr. Muh Yamin untuk Departemen Propaganda (Sendenbu
  6.  Prawoto Sumodilogo untuk Departemen Perekonomian (Sangyobu).

Pemerintah pendudukan Jepang kemudian membentuk Badan Pertimbangan Pusat (Cuo Sangi In). Badan hal ini bertugas mengajukan usulan kepada pemerintah serta menjawab pertanyaan pemerintah mengenai masalah-masalah politik dan memberi saran tindakan-tindakan yang perlu diambil oleh pemerintah militer Jepang di Indonesia.

Pembentukan Organisasi-Organisasi Semi Militer
Untuk memperkuat barisan pertahanan dan membantu kekuatan militer Jepang menghadapi Perang melawan Sekutu, Jepang mengeluarkan kebijakan untuk membentuk organisasi-organisasi semi militer yang mengikutsertakan rakyat Indonesia, antara lain sebagai berikut.

Seinenndan
Pada tanggal 29 April 1943, tepat pada hari ulang tahun Kaisar Jepang Hirohito, diumumkan secara resmi pembentukan dua organisasi pemuda, yaitu seinendan dan keibodan. Keanggotaan seinendan terbuka bagi pemuda-pemuda Asia yang berusia antara 15-25 tahun, yang kemudian diubah menjadi batasan usia 14-22 tahun, karena suatu kebutuhan akan prajurit baru yang mendesak. Tujuan didirikannya Seinendan adalah untuk mendidik dan melatih para pemuda agar dapat menjaga dan mempertahankan tanah airnya dengan menggunakan tangan dan kekuatannya sendiri. Tetapi, maksud terselubung diadakannya pendidikan dan pelatihannya ini adalah guna mempersiapkan pasukan cadangan untuk kepentingan Jepang di Perang Asia Timur Raya.

Keibodan
Keibodan merupakan barisan pembantu polisi Jepang dengan tugas-tugas kepolisian, seperti penjagaan lalu lintas dan pengaman di desa-desa. Anggotanya ialah pemuda-pemuda yang berusia antara 20-35 tahun, yang kemudian diubah menjadi antara 26-35 tahun. Untuk kalangan etnis Cina juga dibentuk semacam Keibodan, yang disebut Kakyo Keibotai.

Heiho
Pada bulan April 1943 dikeluarkan pengumuman mengenai pembukaan kesempatan kepada para pemuda Indonesia untuk menjadi pembantu prajurit Jepang (Heiho). Pemuda yang ingin menjadi anggota Heiho harus memenuhi syarat-syarat kecakapan umum, seperti berbadan sehat, berkelakuan baik, berumur antara 18-25 tahun, dan berpendidikan serendah-rendahnya adalah Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar).

Pembela Tanah Air (PETA)
PETA dibentuk atas prakarsa Gatot Mangkupraja dan disahkan melalui Osamu Seirei No. 44 tanggal 3 Oktober 1943. Berbeda dengan Heiho, PETA mengenal lima macam tingkat kepangkata, sebagai berikut ini.
*Komandan Batalion (Daidanco), dipilih dari kalangan tokoh-tokoh masyarakat, seperti pegawai pemerintah, pemimpin agama, pamong praja, politikus, dan penegak hokum.
*Komandan Kompi (Cudanco), dipilih dari kalangan yang telah bekerja, tetapi belum mencapai pangkat yang tinggi, seperti guru sekolah dan juru tulis.
*Komandan Peleton (Shodanco), dipilih dari kalangan pelajar-pelajar sekolah lanjutan tingkat pertama atau sekolah lanjutan tingkat atas.
*Komandan Regu (Budanco) dan Komandan Pasukan Sukarela (Giyuhei), dipilih dari kalangan pemuda dari tingkatan Sekolah Dasar.
Dalam perkembangannya, ternyata banyak sekali anggota PETA di beberapa daidan (battalion) yang merasa kecewa terhadap pemerintah pendudukan Jepang. Kekecewaan tersebut menimbulkan pemberontakan. Pemberontakan PETA di Blitar pada tanggal 14 Februari 1945 yang dipimpin oleh Supriyadi dan Muradi.

Fujinkai
Selain pemuda, juga dilakukan pembentukan organisasi kaum wanita. Pada bulan Agustus 1943, dibentuklah Fujinkai (Himpunan Wanita) yang usianya minimal adalah 15 tahun. Organisasi ini bertugas untuk mengerahkan tenaga perempuan turut serta dalam memperkuat pertahanan dengan cara mengumpulkan dana wajib. Dana wajib dapat berupa perhiasan, bahan makanan, hewan ternak ataupun keperluan-keperluan lainnya yang digunakan untuk perang.

KEBIJAKAN SOSIAL DAN EKONOMI
Jepang yang bertekad mmbanguan Persemakmuran Asia Raya dengan Jepang sebagai Pemimpinya berusaha “menjepangkan” tanah jajahanya termasuk Indonesia. Dalam rangka mensukseskan program tersebut, Jepang menetapkan beberapa peraturan. Dalam Undang-Undang No. 4 ditetapkan hanya bendera Jepang, Hinomaru, yang boleh dipasang pada hari-hari besar dan hanya lagu kebangsaan Kimigayo yang boleh diperdengarkan. Sejak tanggal 1 April 1942 ditetapkan harus menggunakan waktu (jam) Jepang. Perbedaan waktu antara Tokyo dan Jawa adalah 90 menit. Kemudian mulai tanggal 29 April 1942 ditetapkan bahwa kalender Jepang yang bernama Sumera. Tahun 1942 kalender Masehi, sama dengan tahun 2602 Sumera. Demikian juga setiap tahun rakyat Indonesia diwajibkan untuk merayakan hari raya Tancōsetsu, yaitu hari lahirnya Kaisar Hirohito.

Dalam situasi perang, Jepang berkepentingan untuk membangun berbagai sarana, seperti kubu-kubu pertahanan, benteng, jalan-jalan, dan lapangan udara. Untuk itu, perlu tenaga kasar yang disebut romusha. Untuk menarik simpati bangsa Indonesia terhadap Romusha, Jepang menyebut romusha sebagai “Pahlawan Pekerja/Prajurit Ekonomi”.

Para romusha diperlakukan dengan sangat buruk. Mulai dari pagi buta hingga petang, mereka dipaksa untuk melakukan pekerjaan kasar tanpa makanan dan perawatan yang memadai. Oleh karena itu, kondisi fisiknya menjadi sangat lemah sehingga banyak yang menderita berbagai jenis penyakit, bahkan meninggal dunia di tempat kerjanya. Belum lagi siksaan bagi yang melawan mandor-mandor Jepang, seperti cambukan, pukulan-pukulan, dan bahkan tidak segan-segan tentara Jepang menembak para pembangkang tersebut.’

Untuk mendukung kekuatan dan kebutuhan perangnya, pemerintah Jepang mengambil beberapa kebijakan ekonomi, antara lain:
Pengambilan Aset-Aset Pemerintah Hindia Belanda
Aset-aset yang ditinggalkan oleh pemerintah colonial Belanda disita dan menjadi milik pemerintah pendudukan Jepang, seperti perkebunan, bank-bank, pabrik-pabrik, pertambangan, sarana telekomunikasi, dan perusahaan transportasi.

Kontrol terhadap Perkebunan dan Pertanian Rakyat
Tidak semua tanaman perkebunan dan pertanian sesuai dengan kepentingan perang. Hanya beberapa tanaman saja yang mendapat perhatian pemerintah pendudukan Jepang, seperti karet dan kina, serta Jarak. Kopi, teh, dan tembakau hanya dikategorikan sebagai tanaman kenikmatan dan kurang berguna bagi keperluan perang sehingga perkebunan ketiga tanaman tersebut banyak digantikan dengan tanaman penghasil bahan makanan dan tanaman jarak yang berguna sebagai pelumas mesin pesawat tentara Jepang.

Kebijakan Moneter dan Perdagangan
Pemerintah pendudukan Jepang menetapkan bahwa mata uang yang berlaku, tetap menggunakan gulden atau rupiah Hindia Belanda. Tujuannya adalah agar harga barang-barang tetap dapat dipertahankan seperti sebelum terjadinya perang. Perdagangan pada umumnya lumpuh dikarenakan menipisnya persediaan barang-barang di pasaran. Barang-barang yang dibutuhkan oleh rakyat didistribusikan melalui penyalur yang ditunjuk agar dapat dilakukan pengendalian harga.

Sistem Ekonomi Perang
Dalam situasi perang, setiap daerah harus menetapkan sistem ekonomi autarki, yaitu sistem ekonomi yang mengharuskan setiap daerah berupaya memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri, tanpa mengandalkan bantuan dari daerah lain. Setiap daerah autarki mempunyai tugas pokok memenuhi kebutuhan pokok sendiri untuk tetap bertahan dan mengusahakan memproduksi barang-barang untuk keperluan perang.

Pada awalnya Jepang selalu memperoleh kemenangan demi kemenangan namun setelah kekalahan Jepang di Pertempuran Koral di Selatan Papua Nugini ketika Jepang berusaha menguasai Australia pada tahun 1943 keadaan perang mulai berbalik dan Jepang mulai mengalami kekalahan demi kekalahan. Pasukan Sekutu dibawah pimpinan Jendral Mac Arthur terus memukul balik tentara Jepang perlahan-lahan dengan strategi “lompat katak” pada akhir tahun 1944, Jepang semakin terdesak, beberapapusat pertahanan di Jepang termasuk kepulauan saipan jatuh ke tangan Amerika Serikat.

Terdesaknya pasukan Jepang diberbagai front menjadi berita menggembirakan bagi bangsa Indonesia. Harapan bangsa Indonesia agar terjadi perubahan sikap terhadap penguasa Jepang ternyata terwujud.

Keadaan Jepang yang semakin terpuruk, semangat tempur tentara Jepang makin merosot dan persediaan senjata dan amunisi terus berkurang dan banyak kapal perang yang hilang, keadaan semakin diperburuk dengan perlawanan rakyat yang semakin menyala. Pada tanggal 17 Jui 1944, Jenderal Nideki Tojo diganti oleh Jenderal Koniaki Koiso. Pada tanggal 7 september 1994 jenderal koiso memberikan janji kemerdekaan kepada Indonesia dikemudian hari.

Pada 1 Maret 1945, panglima Jepang letnan jenderal kumakici horada mengumumkan pembentukan badan penyelidikan usaha-usaha persiapan kemerdekan Indonesia (BPUPKI). Kemudian pada 2 agustus 1945, Ir. Soekarno beserta Moh. Hatta dan Dr. Rajiman Widyadiningrat diundang ke Dalat, vietnam oleh Jendral Terauci untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kemerdekaan Indonesia. Bersamaan dengan itu ktoa Hiroshima pada 6 Agustus dibom atom oleh sekutu. Setelah BPUPKI berhasil menjalankan tugasnya makka badan ini dibubarkan dan sebagai tindak lanjutnya dibentuklah PPKI (Panitia persiapan kemerdekana Indonesia) PPKI yang dipimpin oleh Ir Soekarno setelah itu pada 9 Agustus 1945 Kota Nagasaki dijatuhi bom atom oleh Sekutu merobohkan moral rezim militer Jepang. Akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu dan berakhirnya juga masa pendudukan Jepang di Indonesia.



Sunday, February 28, 2016

Perang Candu/Opium, antara China – Inggris

Perang Candu adalah perang yang terjadi antara pemerintah China dibawah Dinasti Qing menghadapi negara-negara eropa yang dipimpin Inggris. Perang ini terjadi karena usaha China dalam memerangi perdagangan opium dinegara tersebut yang disuplai oleh para pedagang inggris karena telah meresahkan kesehatan dan kehidupan sosial masyarakat China

Perang ini sendiri terbagi dalam dua tahap, dimana dalam Perang Candu pertama yang terjadi antara tahun 1840 -1842 sedangkan perang candu kedua terjadi pada tahun 1856-1860. Namun sebelum perang candu pecah pun, dalam dinasti Manchu ini sudah terjadi kericuhan yang disebabkan berbagai kebijakan China sangat merugikan merugikan Inggris, sehingga kedua negara sempat bersitegang. Hingga akhirnya setelah melewati liku-liku perundingan, akhirnya perdagangan dibuka kembali dengan syarat Inggris boleh dagang hanya di Guangzhou (Canton) saja.

Latar belakang Perang
Selama Abad 18 -19, bangsa Barat membeli barang-barang dari China seperti porselin, sutra, rempah-rempah dan teh dalam mata uang China  perak untuk dijual di Eropa. Sementara masyarakat Tiongkok sendiri tidak terlalu menerima bahan dagang Eropa seperti tekstil dan katun yang dijual oleh Inggris. Perdagangan dengan Tiongkok pun gagal. sehingga perdagangan dengan China ini dinilai gagal dan sangat menguras cadangan devisa. Sejak Dinasti Qing berkuasa berusaha menutup diri dari dunia luar karena merasa mampu memenuhi kehidupanya sendiri, sehingga tidak mengizinkan pedagang asing berdagang di China.
Sikap kemandirian yang dahsyat dari Dinasti Ming, ini lah yang membuat bangsa-bagsa Eropa berusaha mencari jalan bagaimana agar China mau berdagang denga para pedagang asing serta mau membuka pelabuhan-pelabuhan dagangnya bagi bangsa Eropa, untuk membalikkan neraca perdagangan yang minus antara Eropa dan China.
Inggris yang memahami kebiasaan masyarakat China yang gemar menggunakan opium/candu memanfaatkan hal ini dengan menyalahi isi kesepakatan dagang antar kedua negara dengan memasukkan barang larangan (opium) sebagai komoditas dagang. Peredaran dan perdagangan candu ini direspon positif  oleh masyarakat China dengan banyak yang mengkonsumsinya apalagi Inggris memiliki akses mendapatkan opium dari daerah penghasilnya di India yang letaknya tepat di selatan Cina.
Perdagangan ilegal opium melalui China selatan ini mendatangkan keuntungan yang luar biasa bagi Inggris yang kemudian menancapkan kukunya di India mlihatnya sebagai peluang emas untuk memperbesar cadangan devisanya.

Larangan Candu/Opium
Sebenarnya, bangsa Tionghoa telah mengenal candu pada sekitar abad ke-15 M. namun kerajaan melarang penghisapan candu pada tahun 1729, karena seperti yang kita tahu bahwa candu mempunyai efek yang buruk jika dipakai secara berlebihan dan tidak sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Perdagangan candu dengan China sebelumnya dipelopori oleh bangsa India dibawah kerajaan Mughol (1556-1605).
Membanjirnya candu di China secara ilegal berdampak kepada rakyat China yang semakin melemah. Karena kebanyakan pemakai candu merupakan kalangan rakyat, ada juga kalangan atas yang memakai candu ini sehingga Kaisar Daoguang pada tahun 1799, negara menegaskan kembali pelarangan impor candu ini dan pada tahun 1810 .
Mengetahui semakin banyaknya pencandu di Guangzhou, Kaisar Tao Kwang pada tahun 1839, mengambil satu langkah tegas dengan adalah mengangkat Lin Tse-Hsu Lin Tse Hu atau Lin Zexu (1785-1850) sebagai Komisioner di Canton dengan kekuasaan penuh. Dalam membasmi peredaran candu menghadapi pedagang-pedagang Inggris, ia bertindak sangat keras. Pada tahun 1839 Ia menyita 20.000 peti candu dari para pedagang Ingris yang kemudian dimusnahkan. Setelah memusnahkan habis opium, dinasti Qing memerintahkan agar perdagangan dapat berjalan kembali dengan normal tetapi dengan syarat bahwa opium tidak boleh diperdagangkan.
Kejadian ini mencetus kemarahan orang Inggris dan mereka pun mendeklarasikan perang dengan Dinasti Qing pada tahun 1839. Inggris pun mulai menyerang daerah pesisir Guangzhou atau Kanton. Karena pada waktu itu Pemerintah Qing melemah, mereka pun tidak mampu untuk berperang melawan Inggris dan mengakibatkan kekalahan fatal dalam sejarah Tiongkok

Perjanjian Nanjing (1842)
Kekalahan ini menyebabkan Dinasti Qing dengan terpaksa menandatangani Perjanjian Nanking atau Nanking Treaty pada 29 Agustus tahun 1842 di atas kapal Inggris, HMS Cornwallis di kota Nanjing. Perjanjian ini menandakan berakhirnya Perang opium I dengan Inggris keluar sebagai pemenangnya. Perjanjian yang sangat merugikan pemerintahan China ini memuat beberapa ketentuan pokok sebagai berikut,
  • Dinasti Qing harus untuk membuka 5 kota sebagai kota untuk berdagang. 5 kota ini adalah ; Guangzhou (Kanton), Amoy (Xiamen), Fuzhou, Ningbo, dan Shanghai.
  • Inggris diperbolehkan berdagang dengan siapa saja dalam tarif yang ditetapkan oleh pihak Inggris.
  • Pemerintah Dinasti Qing diwajibkan untuk membayar total 6 juta perak untuk opium yang telah dibakar habis, 3 juta perak untuk menutup hutang pedagang Hong di Kanton, dan 12 juta untuk membiayai kerusakan yang diakibatkan dari perang.
  • Pemerintah Dinasti Qing harus menyerahkan pulau Hongkong kepada Inggris.

Perjanjian Nanjing menjadi pintu pembuka peredaran candu dan pembuka pintu dagang Barat ke Timur.

Perang Candu/Opium II
Pada tahun 1856, Pemerintah China kembali menangkap kapal bebendera Inggris The Arrow di Guangzhou karena menyelundupkan opium secara ilegal ke daratan China. Insiden ini membuat Inggris marah lalu mendeklarasikan perang lagi terhadap China. Dalam pertempuran kali ini Inggris bersekutu dengan Perancis. Akhirnya Inggris keluar sebagai pemenang lagi, Kota Guangzhou diduduki pasukan Inggris-Prancis sampai 1861.
Cina yang kembali mengalami kekalahan dipaksa menandatangai Treaty of Nanjing (1858) dimana Perancis, Rusia dan Amerika iku ambil bagian. Dalam perjanjian ini Cina dipaksa untuk membuka sebelas pelabuhanya bagi pedagang asing, China dipaksa mengizinkan berdirinya kedutaan asing, mengizinkan aktivitas para misionaris Kristen serta melegalkan impor candu.
Setelah menghadapi Perang Candu I dan II ini Dinasti Qing dibawah suku Manchu posisinya makin melemah wibawanya di kalangan rakyat karena tak berhasil menghadapi bangsa asing yang mulai menjajah China, dan secara perlahan-lahan setelah ini China terus mengalami pergolakan antara lain Perang tahun 1859 saat Cina menghalangi masuknya diplomat asing ke Beijing yang membuat China sekalilagi dipaksa menyetujui Konvensi Beijing tahun 1860 yang isinya sangat merugikan China kembali dan setelah itu Perag Boxer tahun 1899 yang membuat China harus menandatangani Protokol Boxer tahun 1901. Hingga akhirnya Dinasti Qing dijatuhkan gerakan nasionalisme rakyat China yang mayoritas Suku Han pada 10 Oktober 1911 yang mendirikan Republik China yang mengakhiri pemerintahan monraki etnis Manchu yang dinilai lemah dalam menghadapi Penjajah.


Friday, February 26, 2016

Hong Kong, Antara Masa Lalu dan Masa Depan


Hong Kong merupakan Daerah bagian otonomi khusus dari Pemerintah China yang baru kembali kedalam pangkuan kedaulatan China pada tahun 1997 setelah Inggris bersedia mengembalikanya. Hong Kong yang luasnya hanya sekitar 1000-an kilometer persegi namun memiliki pondasi ekonomi yang kuat dan besar jika dibandingkan dengan ekonomi China pada tahun 1997 sebelum proses penyatuan. 
Hong Kong merupakan salah satu pusat ekonomi dunia selain New York, Londo, Tokyo dan lain-lain karena besarnya aktivitas ekonomi yang terkandung didalamnya. Selama kurang lebih 156 tahun dibawah koloni Inggris, Hong Kong telah dibangun dengan pondasi kapitalisme, liberalisme dan demokrasi, sehingga pasca penyatuan ada kekhawatiran tiga prinsip dasar itu akan hiang berganti dengan sosialisme dan komunisme ala China. Namun akhirnya berhasil menepati komitmenya untuk tetap menjaga dan membangun Hong Kong dalam konsep satu negara dua sistem hingga Hong Kong masih bisa menjadi salah satu pusat perekonomian dunia saat ini.

Asal Mula Nama Hongkong
Nama Hong Kong  berasal dari kata Heung kong” yang artinya pelabuhan harum. Namun ada juga berbagai pihak yang menyebut Hong Kong dengan julukan “hongkon” atau Kerajaan Penyamun, Hal ini disebabkan pada waktu pedagang Portugis datang pada abad ke-16, kawasan ini merupakan kumpulan desa nelayan dan petani yang penduduknya masih jarang. Kontur wilayah Hong Kong yang berupa teluk-teluk dan pulau-pulau kecil sepanjang pantainya yang panjang dan berkelok-kelok mejadi tempat bersarangnya para bajak laut yang mengganggu pelayaran sepajang pantai cina selatan. Oleh karena itu tidak banyak penduduk yang berani bertempat tinggal di situ.

Wilayah Hong Kong
Kawasan Hong Kong terletak di laut China selatan, 60 km sebelah timur Makau di sisi berlawanan dari Pearl River Delta. Dikelilingi Laut Tiongkok Selatan di timur, selatan, dan barat, dan berbatasan dengan kota Shenzhen di utara, di seberang Sungai Sham Chun (Sungai Shenzhen).

Wilayah Hong Kong sebenarnya Hongkong hanya terdiri dari tiga wilayah utama yakni : Pulau Hongkong yang luasnya 32 mil persegi ( yang diperoleh Inggris melalui perjanjian Nanking 1842). Semenanjung Kowloon yang luasnya 3,75 mil persegi ( diperoleh melalui perjanjian Tietsin tahun 1860, termasuk beberapa pulau kecil dan Pulau Stonecutter ) dan Wilayah baru ( yang disewa inggris selama 99 tahun, melalui Perjanjian Beijing tahun 1898). Wilayah baru yang disewa oleh Inggris selama 99 tahun inilah yang memiliki luas 365 mil persegi atau 10 kali luas bagian koloni Inggris di China pada tahun sebelumnya. Sehingga total kawasan Hong Kong yang diduduki Inggris dahulu hingga saat ini mencapai 1,104 km2.
Wilayah daratan Hong Kong sebagian besar merupakan pegunungan dengan kecuraman tajam, kurang dari 25% luas daerahnya yang diperuntukan untuk bangunan dan sekitar 40% sisa luas daratan dijadikan taman kota dan cagar alam. Titik tertinggi di negara ini adalah Tai Mo Shan, dengan ketinggian 957 meter di atas permukaan laut. Wilayah Hong Kong yang terdiri dari beberpa Pulau besar dan ratusan Pulau kecil membuat Hong Kong memiliki kawasan pesisir yang panjang dan menjadikannya memiliki banyak sungai dan pantai.

Penduduk
Penduduk Hong Kong mayoritas adalah keturunan China sebesar 93.6% yang kebanyakan diantaranya adalah orang Taishan, Chiu Chow, Kanton, dan Hakka. Suku Han di Hong Kong mayoritas dari provinsi Guangzhou dan Taishan di provinsi Guangdong, sedang 6,4% sisanya adalah non-China yang bersala dari India, Pakistan, Nepal, Vietnam, Inggris dan lainya yang telah menjadi warga tetap  di Hong Kong.
Populasi kawasan ini tahun 2011 adalah 7,07 juta jiwa, dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 0,6% per tahun selama 5 tahun terakhir. Penduduk dari China daratan tidak memiliki hak untuk menetap di Hong Kong atau bepergian dengan bebas ke sini. Meski begitu, imigran dari China, jumlahnya sekitar 45.000 per tahun, adalah penyumbang terbesar terhadap pertambahan populasi. Angka harapan hidup merupakan salah satu yang tertinggi di dunia dengan angka 79.16 tahun untuk pria dan 84.79 tahun untuk wanita per 2009.
Bahasa resmi Hong Kong secara de facto adalah Kanton, bahasa Mandarin dari provinsi Guangdong. Selain bahasa Kanton bahasa Inggris juga merupakan bahasa utama kedua.
Hong Kong adalah satu negara yang memiliki kebebasan agama tertinggi di dunia karena mewarisi sistem warisan Inggris, sehingga sebagian besar warga Hong Kong tidak beragama, entah itu agnostik maupun ateis. Agama utama di Hong Kong adalah Buddha, Taoisme dan Konfusianisme; diperkirakan ada sekitar 1,5 juta pemeluk Buddha dan Tao. Pemeluk Kristen berjumlah 833.000 orang, sekitar 11.7% dari total populasi. Selain itu juha ada pemeluk Islam, Sikh, Yahudi, Hindu dan Bahá'í.

Sejarah
Wilayah Hong Kong diperkirakan sudah mulai ditinggali manusia sejak zaman Neolitikum namun baru dikenal secara luas saat Hong Kong diserahkan kepada Inggris setelah Perang Opium pada abad ke-19. Sebelumnya pada 1513, pelaut Portugis Jorge Álvares, menjadi orang Eropa pertama yang mengunjungi Hong Kong.
Setelah kunjungan pelau Portugis tersebut Hong Kong banyak didatangi oleh para pelaut Eropa yang bermaksud membuka perdagangan dengan China, Namun karena sikap tertutup pemerintahan Dinasti Qing membuat Inggris mencari cara dengan menyelundupkan Candu ke wilayah China, sehingga banyak warga China yang ketergantungan. Candu juga merusak kesehatan dan tatanan sosial masyarakat China saat itu. Karena itu pada tahun 1830-an Pemerintah China melakukan perang terhadap peredaran Candu
Pada tahun 1839 meletus Perang Candu I setelah Inggris tidak terima Candu yang merupakan komoditas dagan mereka ditangkap dan dihanncurkan oleh pemerintah China, Dalam Perang Opium I (1839–42), China kalah dan sebagai kompensasi perang Pulau Hong Kong diserahkan pada Inggris, yang mengawali Kolonialisme Inggris di Hong Kong. Setelah itu Semenanjung Semenanjung Kowloon dan Pulau Stonecutter melalui Konvensi Peking(Beijing) pada tahun 1860 jatuh lagi ke Inggris setelah China kalah dalam Perang Opium II dan setelah itu Inggris menyewa sebuah kawasan di sekitar Hong Kong yang disebut New Territories (Wilayah Baru) yang mencakup Pulau Lantau dan sekitarnya selama 99 tahun pada tahun 1 Juli 1898. Wilayah –wilayah tadi inilah yang nantinya menjadi wilayah Hong Kong yang kita kenal samapai saat ini
Dalam Perang Dunia II (1941–45), Jepang menduduki Hong Kong dan setelah kekalahan Jepang, Inggris kembali mengambil alih kontrol atas Hongkong hingga 30 Juni 1997. Sebagai hasil dari negosiasi panjang antara China dan Inggris, Hong Kong diserahkan ke Republik Rakyat China (RRC) melalui Deklaralasi Bersama China-Inggris tahun 1984. Kota ini menjadi Daerah Otonomi Khusus pertama di China melalui asas "satu negara, dua sistem".

Usaha Penyatuan Hong Kong dengan China
Sejak Pemerintahan China jatuh ke tangan Partai Komunis China dibawah Mao Zedong pada 1 Oktober 1949. Usaha penyatuan kembali wilayah-wilayah China sesuai wilayah Dinasti Qing berkuasa sebelum meletusnya Perang Opium (1839-1842) yang dianggap oleh bangsa China sebagai sebuah penghinaan besar bangsa barat pada China, telah mulai digagas
Wilayah –wilayah China yang mereka coba ingin satukan adalah, Hong Kong, Taiwan dan Makau. Usaha pemerintah kembali menyatukan Hongkong sebenarnya sudah ada sejak awal tahun 1950-an namun karena beberapa pertimbangan pemerintah RRC menangguhkan usaha tersebut. Pertimbanganya antara lain adalah pertimbangan militer dan Politis, karena mereka harus menghadapi pasukan inggris yang pada waktu itu cukup tangguh di wilayah Asia Pasifik. Selain itu keterlibatan China dalam perang Korea mengakibatkan Republik Rakyat China (RRC) dimusuhi oleh hampir sebagian negara Barat sehingga mereka mengenakan embargo ekonomi.
China begitu berambisi untuk mengembalikan Hong Kong dalam wilayah yuridiksi kedaulatanya karena memiliki dua alasan kuat yaitu, Hong Kong adalah wilayah RRC yang diduduki oleh Inggris dengan merebutnya dari dinasti Qing sejak Perang Opium tahun 1839-1842, sehingga sejak berkuasanya para tokoh moderat Komunis dalam PKC pimpinan Deng Xiao Ping, sejak kematian Ketua Mao Zedong pada September 1976, Penyatuan wilayah-wilayah china yang terpisah menjadi prioritas utama selain empat program modernisasi dan alasan kedua adalah faktor ekonomi, Hong Kong saat itu merupakan salah satu pusat perekonomian dunia, sehingga nantinya setelah bergabung dengan RRC , Hong Kong dapat menjadi penyokong utama bagi perekonomian China
Dibawah kepemimpinan kelompok moderat yang dipimpin oleh Deng Xiaoping, RRC berulang kali terus menegaskan bahwa penyatuan kembali wilayah , Taiwan, dan Makao merupakan salah satu sasaran nasional utama disamping program empat moderenisasi. Hal ini didukung oleh keberhasilan mereka memperbaiki hubungan diplomatik dengan neagra-negara barat sehingga. Penegasan penyatuan ini dilakukan, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan citra kelompok Deng Xiaoping di mata rakyat RRC dan memperbaiki citra RRC di mata dunia internasional,khususnya negara blok timur dan dunia ketiga.
Dalam usaha melaksanakan penyatuan kembali terhadap wilayah-wilayah tersebut, pemerintah China pertama-tama melakukan pembaharuan konstitusi pada 1 jauari 1980. Untuk menyelesaiakn hal tersebut Kongres Rakyat Nasional membentuk komisi pembaharuan konstitusiyang dipimpin oleh seorang tokoh negarawan senior, Peng Zhen. Dalam rancangan konstitusi yang baru tersebut salah satu pasalnya pasal 31 mengatur secara pembentukan wilayah- wilayah administrasi khusus. Berdasarkan pasal 31 ini secara terbuka pada bulan juli 1982 Peng Zhen menyatakan bahwa pemerintah China akan mengambil alih, Hong Kong, Taiwan dan makao. Pasal ini sengaja dibuat agar rakyat yang tinggal diwilayah Hong Kong, Taiwan dan Makau tetap bisa menggunakan sistem pemerintahan yang ada saat ini agar mereka tidak akan merasa dirugikan bila nanti berada dalam kedaulatan China. Pasal ini sekaligus menegaskan tekad China untuk membentuk “Dua sistem pemerintahan dalam satu Negara”.
Setelah melalui serangkain perundingan-perundingan yang panjang selama kurang lebih 2 tahun, akhirnya pada tanggal 26 September 1984, Pemerintah Inggris dan pemerintah RRC berhasil memaraf sebuah deklarasi bersama tentang masa depan Hongkong setelah habis masa sewanya pada tanggal 30 Juni 1997. Selanjutnya pada tanggal 19 Desember 1984 di Beijing, Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher dan Perdana Menteri China, Zhao Ziang menandatanganinya.
Menjelang pengembalian Hong Kong ke China, Deng Xiaoping, tanggal 19 Desember 1994  pemimpin China ketika itu, kembali menegaskan akan menerapkan konsep “satu negara dua sistem”. Konsep tersebut memberikan otonomi kepada pemerintah Hong Kong seperti pada sistem hukum, mata uang, bea cukai, imigrasi, peraturan jalan yang tetap berjalan di jalur kiri, kecuali urusan yang menyangkut pertahanan nasional dan hubungan diplomatik yang tetap ditangani oleh pemerintah pusat di Beijing. Dengan kata lain, konsep tersebut menjamin Hong Kong tetap berdiri di atas sistem kapitalis, dan China tetap berada dalam sistem sosialis. Hal ini ditandai dengan adanya nota kesepahaman natara China dan Ingris. Akhirnya setelah sekitar 156 tahun dikuasai Inggris, akhirnya Hong Kong dikembalikan secara resmi kepada China pada 1 Juli 1997. Di bawah sistem kapitalisme, Hong Kong telah tumbuh menjadi pusat keuangan, perdagangan, pelayaran, logistik dan pariwisata internasional di kawasan Asia Pasifik, sehingga ketika awal kembalinya ke pangkuan China muncul kekhawatiran di kalangan luas masyarakat Hong Kong akan terjadi perubahan sistem dari demokrasi-kapitalis menjadi komunis-sosialis ala China.

Hong Kong : Modernisasi dan Masa Depan
Hong Kong adalah sebuah daerah dalam kedaulatan RRC yang memiliki sistem otonomi khusus sehingga dalam urusan dalam negerinya baik ekonomi, sosial, budaya dak keuangan, Hong Kong memiliki otoritas sendiri bagaimana mengaturnya dengan cara-cara warisan Inggris. Hong Kong merupakan sebuah paradoks karena meski 93% masyarakatnya merupakan etnis China namun mereka memiliki sistem pemerintahan tersendiri berlawanan dengan negara induk mereka di China daratan yang cenderung menerapkan kebijakan otoriter dan sosialis tapi Hong Kong berjalan dengan cara-cara demokratis serta liberalis dan kapitalis hingga bisa mencapai kondisi kemakmuran saat ini. Di bawah kekuasaan Inggris, Hong Kong telah berhasil dibangun di atas fondasi Demokrasi dan Liberalisme, sedangkan China merupakan pusat Sosialisme dan Komunisme di Asia. Secara geopolitik, hingga masa era Perang Dingin Hong Kong merupakan bagian dari agenda Containment Politics (Politik Pembendungan) negara-negara Blok Barat untuk membendung penyebaran paham Komunisme wilayah-wilayah di sebelah selatannya (Asia Tenggara).
Rekonstruksi sistem yang dilakukan oleh RRC pasca penggabungan Hong Kong dalam wilayah kedaulatanaya ini tentu saja akan mengguncang ekonomi dan politik Hong Kong, apalagi ketika itu ekonomi China masih berada di bawah Hong Kong serta China cenderung menggunakan cara-cara sosialis dan Hong Kong cenderung menggunakan cara-cara Kapitalis dan Liberalis untuk menggerakkan ekonominya.
Dalam perjalanannya, implementasi sistem ini telah berjalan dengan cukup baik. Hal ini dibuktikan dengan bagaimana Hong Kong dapat survive dalam menghadapi krisis moneter Asia pada tahun 1997. Sementara itu dalam menghadapi gelombang resesi itu, Beijing menyokong penuh pertumbuhan ekonomi Hong Kong sehingga bisa bertahan dan melaju pesat. Bersamaan dengan itu, China juga terus giat memperkuat ekonominya dengan cepat sehingga taraf ekonomi masyarakat China daratan dan masyarakat Hong Kong semakin berimbang.
Paling tidak ada dua hal yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Hong Kong sangat baik setelah kembali dalam kekuasaan China. Pertama, pemerintah Hong Kong memfokuskan mengembangankan sektor pariwisata sebagai sumber devisa utama. Hong Kong dibangun menjadi kota modern namun dengan tetap menampilkan eksotisme nuansa klasiknya. Kebijakan ini diambil karena sektor perdagangan ketika itu sedang lemah akibat krisis moneter Asia. Langkah ini membuahkan hasil yang memuaskan. Pada tahun 2003, perekonomian Hong Kong mengalami pertumbuhan 31%. Selama januari sampai April, 2005, jumlah turis terus meningkat sebesar 11, 1% dan mencapai 7, 41 juta orang. Hong Kong menjadi tempat persinggahan utama bagi para pebisnis yang hendak berurusan ke Cina. Para wisatawan juga banyak berdatangan dari China daratan seiring dengan pertumbuhan taraf ekonomi negara tersebut.
Kedua, Beijing menerapkan sistem satu negara dua sistem dengan konsisten, sehingga kestabilan politik tetap terjaga, hubungan Beijing dengan Hong Kong berjalan dinamis, dan iklim investasi baik dari dalam maupun luar negeri semakin meningkat. Hal ini tentu saja berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi Hong Kong dan memberikan kepuasan masyarakat pada pemerintah. Ekspor Hongkong ke daratan tahun 2006 mencapai puncak: HKD 8,3 miliar (Rp 9,545 triliun). Investasi Hongkong di daratan mencapai HKD 9, 2 miliar (Rp 10,580 triliun). Sedangkan investasi daratan ke Hongkong mencapai HKD 5, 1 miliar (Rp 5,865 triliun). Untuk terus meningkatkan hubungan ekonomi, pemerintah kedua wilayah menerapkan sistem perdagangan bebas yang menyebutkan bahwa impor barang dari dua negara tidak dikenai bea masuk. Kebijakan ini berlaku bagi 38 item jenis perdagangan dan akan ditambah lagi 11 jenis di masa akan datang.
Apabila kedua hal ini berjalan dengan konsisten, maka Hong Kong bersama dengan China akan segera menyusul pertumbuhan ekonomi Jerman yang saat ini menduduki urutan tiga besar setelah AS dan Jepang. Hong Kong tetap akan menjadi pusat keuangan, perdagangan, logistik, pariwisata dan pelayaran internasional.